Kejahatan yang terjadi pada kasus
sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah suatu kejahatan yang tidak
berhenti ketika pelaku berhasil dijebloskan kedalam penjara atau memberikan
ganti kerugian. Kejahatan ini akan menimbulkan dampak yang akumulatif dan
cenderung melahirkan suatu bentuk kejahatan baru. Destructive logging /
perusahaan hutan adalah contoh konkret yang selanjutnya dapat melahirkan
rentetan bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, gagal panen, gagal tanam
dan kebakaran hutan. Bahkan dampak dari destructive logging dapat menimbulkan
hilangnya nyawa dan harta benda bagi mereka yang tertimpa bencana ikutan
tersebut.
KASUS :
PT Galuh Cempaka bergerak dalam
bidang pertambangan intan, PT tersebut membuang limbah industri ke aliran
sungai yang dapat membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat
sekitar. Menurut data yang didapatkan dari siaran pers WALHI Kalimantan
selatan, pencemarn yang dilakukan oleh PT. Galuh Cempaka tersebut mengakibatkan
tingkat keasaaman air sungai mencapai ph 2,97. Hal ini sangat bertentangan
dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan
Selatan, yaitu tingkat ph normal air sungai sebesar 6 hingga 9 ph. Selain itu
efek dari penambangan tersebut mengancam ketahanan pangan dikota Banjarbaru.
Lumbung padi kota banjarbaru terancam dengan aktivitas penambangan PT Galuh
Cempaka. Dampak lingkungan ini juga menuruni fungsi sungai sebagai pengatur
tata air, minimal pada tiga sungai di kelurahan palam. Penyebabnya tak lain
pengelolaan tambang yang carut marut dimana perencanaan pertambangan tidak
mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar dan terkesan arogan.
Setelah ditelusuri ternyata dokumen
AMDAL yang dibuat PT Galuh Cempaka cacat hukum dan pada implementasinya juga
tidak dijalankan. Dengan kata lain dokumen amdal hanya sebagai persyaratan
administrasi belaka. Dampak langsung yang terjadi adalah penurunan kualitas air
yang menyebabkan rusaknya fungsi biologis. Hal ini terlihat dari ikan-ikan yang
mati, tidak mengalirnya air secara normal bahkan dua sungai tidak berfungsi.
Belum lagi genangan air banjir yang mengakibatkan terendamnya ribuan hektare
sawah masyarakat yang berakibat pada keterlambatan panen untuk musim tanam.
Jika hal ini terus dibiarkan dapat mengakibatkan penurunan kualitas air yang
akan mengancam kepunahan biota air. Sungai yang tidak berfungsi sebagai
pengatur tata air akan mengakibatkan krisis yang lebih jauh dan berdampak besar
berupa krisis ketahanan pangan yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi. Masalah
ini dianggap sebagai kejahatan korporasi lingkungan karena sudah jelas
melanggar UU yang telah ditatapkan, yaitu UU No 23 Tahun 1997, Tentang
pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab VI Pasal 20 ayat 1 “Tanpa suatu keputusan
izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan
hidup.
Kejahatan lingkungan adalah
kejahatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok atau Badan hukum yang
bersifat merusak dan mencemari lingkungan. Dalam kacamata krimonologi,
kejahatan lingkungan memiliki perbedaan dengan kejahatan konvensional. Ciri
utama dari kejahatan ini adalah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
(korporasi) dalam menjalankan usahanya.
Permasalahan lingkungan yang
disebabkan oleh perusahaan PT Galuh Cempaka seakan menjadi benalu yang menguras
sumber kekayaan alam, dan sekaigus memberikan dampak kerusakan bagi lingkungan
yang akhirnya akan memberikan kerugian yang sangat besar bagi kehidupan
masyarakat di Indonesia.
Solusinya
Menurut saya kenapa kasus tersebut
bisa terjadi karena kurangnya kontrol dari pemerintah terhadap
perusahaan-perusahaan yang mengadakan eksploitasi di bumi nusantara ini. Selain
itu, pelaksanaan kententuan hukum yang berlaku terhadap pelaku kejahatan lingkungan
terasa masih setengah-setengah. Pelaku kejahatan lingkungan tidak mendapatkan
stigma masyarakat yang berat dan melekat. Karena apa yang dilakukan oeh pelaku
kejahatan tidak memberikan dampak secara langsung melainkan secara lamban namun
sangat fatal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat
tentang kejahatan lingkungan itu sendiri. Meskipun sudah jelas dicantumkan
dalam UU tentang pelanggaran yang berkaitan dengan lingkungan, tetapi masih
banyak dari masyarakat yang tidak mengetahui tolak ukur untuk menentukan apakah
suatu kejahatan masuk ke dalam kategori kejahatan lingkungan atau tidak.
Masyarakat baru akan sadar ketika telah jatuh korban dan muncunya berbagai
masalah yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan tersebut, seperti masalah
penyakit kulit yang terjadi pada kasus PT Galuh Cempaka.
Seharusnya untuk menangani
permasalahan ini peran pemerintah sangat dibutuhkan karena dalam karakteristik
kejahatan korporasi, pembuktian apakah suatu perusahaan melakukan kejahatan
atau tidak, hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atau Badan Hukum yang
bersangkutan. Selain itu sosialisasi tentang kejahatan korporasi akan lebih
baik apabila ada inisiatif dari pemerintah untuk mengadakan peningkatan
pengenalan mengenai kejahatan-kejahatan seperti apa saja yang bisa dikatakan
sebagai kejahatan korporasi.
Kejahatan korporasi yang dimaksud
adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup, yaitu tindakan pencemaran
dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi bernama Galuh cempaka.
Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan
tidak hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan hidup
masyarakat. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak
kejahatan. Dalam kasus ini ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa
dijerat dengan pasal-pasal dalam undang-undang antara lain hukum lingkungan
hidup (UULH), hukum pidana (KUHP) dan hukum perdata (KUHPer).
Terkait dengan PT Galuh Cempaka,
menurut organisasi non pemerintah yang fokus pada persoalan lingkungan ini,
perusahaan tersebut telah melakukan kejahatan korporasi yaitu sengaja melakukan
pembuangan limbah atau zat ke aliran sungai yang dapat membahayakan bagi
kesehatan dan keselamatan orang byk. Perbaikan sistem pengolahan air limbah
(sispal) yang dilakukan PT Galuh Cempaka adalah suatu keharusan yang dilakukan
oleh sebuah perusahaan.
Sanksi dapat dijatuhkan kepada
perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah maupun yang melaksanakan
perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga dijadikan tersangka sesuai
dalam pasal 45 dan pasal 46 UU No.23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup,
dan didalam RUU KUHP paragraph 7 tentang korporasi yang dimulai dari pasal
44-49.
Melihat polanya maka dalam pandangan
diatas, kejahatan ini bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri. Kesalahan
dalam pengurusan yang telah berlangsung lama menjadi salah satu faktor utama
pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi yang mengaturnya.
Belum lagi lemahnya penegakan hukum yang berimplikasi pada semakin tingginya
tingkat kejahatan tersebut. Parahnya oknum aparat penegak hukum juga menjadi
bagian dari praktek atau modus bagaimana kejahatan ini berlangsung dan
dilakukan terus menerus.
Di Indonesia adalah satu peraturan
yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah undang-undang nomor 23 thun 1997
tentang lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang
mengadopsi doktrin vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas
seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada
saat ini terdapat tiga bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan
korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu : dibebankan pada
korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Psaal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004
tentang jalan. Dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang
melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan
tindak pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 20 UU No,31/1999 tentang tindak
pidana korupsi dan UU No.31/2004 tentang perikanan kemudian kemungkinan
berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai
pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada korporasi, contohnya
seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang tindak pidana korupsi.
Penting untuk melakukan upaya
rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi. Sehingga kasus ini juga
bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk
melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan
hidupnya. Eksploitasi dan eksplorasi telah menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No.23 tahun 1997 hal ini
telah melanggar Pasal 41 hingga pasal 45 undang-undang tersebut. Dalam ketentuan
pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwasannya bumi. Air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
dan digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Masalah ini tidak akan pernah
selesai tanpa ada inisiatif dari kita semua untuk menanggulanginya. Sebagai
individu ataupun masyarakat, kita juga memiliki kewajiban untuk menjaga
lingkungan kita. Lebih baik kita siaga sejak dini daripada baru akan
menyadarinya saat berbagai masalah yang baru muncul akibat pencemaran
lingkungan. Sebagai penegak hukum, seharusnya masalah seperti ini harus
ditangani secara serius, karena permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan
korporasi tersangka sangat sulit ditangkap ataupun dikenali. Sesuai dengan
fungsinya baik secara mikro maupun makro, sebuah bisnis yang baik harus
memiliki etika dan tanggung jawab social. Nantinya, jika sebuah perusahaan
memiliki etika dan tanggung jawab social yang baik, bukan hanya lingkungan
makro dan mikronya saja yang akan menikmati keuntungan, tetapi juga perusahaan
itu sendiri. Oleh karena itu, sebuah perusahaan harus mementingkan yang namanya
etika bisnis. Agar ketika dia menjalani bisnisnya, tidak merugikan pihak manapun,
dan sebuah perusahaan harus mempunyai tempat pembuangan limbah sendiri. Para
pelaku bisnis harus mempertimbangkan standar etika demi kebaikan dan
keberlangsungan usaha dalam jangka panjang. Untuk penanganan masalah lingkungan
tersebut sebaiknya Bapedal segera turun tangan, jangan sampai berlarut-larut
yang bisa berdampak pada sosial masyarakat. Pembangunan disamping dapat membawa
kepada kehidupan yang lebih baik juga mengandung resiko karena dapat
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk meminimalkan
terjadinya pencemaran dan kerusakan tersebut perlu diupayakan adanya
keseimbangan antara pembagunan dengan kelestarian lingkungan hidup, peningkatan
kegiatan ekonomi melalui sektor industrialisasi tidak boleh merusak sektor
lain.
sumber:http://ajengaf.blogspot.com/2013/11/kasus-pt-galuh-cempaka-sebagai.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar